HMI dan Kekecewaanku
Dua tahun lebih aku memilih ber-HMI setelah sebelumnya
aku mengikuti serangkaian kegiatan orientasi organisasi ekstra sebelah. Aku
sadar memang ada perbedaan yang sangat terlihat dari kedua organisasi ini.
Mungkin hal ini dirasakan oleh banyak pihak setelah terlibat di
kedua organisasi mahasiswa Islam ini. Perkenanalan pertamaku dengan HMI berawal
dari kakakku yang merupakan aktivis HMI dan sering bercerita tentang
kehidupannya ketika ber-HMI, bahkan ia sempat menjadi ketua umum komisariat.
Namun, sekarang ia bukan orang yang aktif di KAHMI dan bahkan ia tak kenal
KAHMI di Bangka Belitung.
Ketika menjadi mahasiswa baru, rasa ingin tahu tentang
HMI yang pernah diikuti oleh kakakku ini memuncak, namun ajakan bahkan
intervensi untuk masuk ke organisasi ekstra terbesar di kampus membuat rasa
ingin tahu itu terkubur. Alasan kerdilku mengikuti organisasi sebelah adalah
karena jabatan struktural yang ada di internal kampus sangat menggiyurkan.
Mungkin kebanyakan teman-temanku juga berpikiran bahkan bertindak seperti itu.
Perpindahanku dari pondok pesantren di depan kampus
tiga menuju pesantren yang dijuluki “The corner of Tanjungsari” ini membuat
rasa penasaranku tentang HMI kembali hadir. Ternyata semua kader yang menimba
ilmu di sana wajib menjadi aktivis HMI dan bahkan harus berperan aktif di
dalamnya. Aku terheran-heran tentang hal tersebut. Baru kali ini aku mendengar
ada pondok pesantren yang memperbolehkan bahkan mewajibkan santrinya untuk
aktif di organisasi eksternal.
Setelah terdengar kabar LK I di Komisariat FE
UNISSULA, aku langsung bersemangat mengatakan kepada pengurus di pondokku bahwa
aku ingin ikut LK di sana. Gambaran tentang LK itu apa masih menjadi abu dan
senior selalu mengatakan ikuti saja arahan dari pihak sana. Di sisi lain, aku
juga merasa bingung. Pasalnya, aku sudah disumpah agar menjadi kader sejati di
organisasi sebelah. Namun, daripada aku terus gelisah mengenai berbagai dilema
yang bahkan bertentangan dengan apa yang yang kuharapkan, lebih baik
kutinggalakn saja dengan mencoba hal baru yang mungkin mampu menbuatkan
tetap survive.
Aku juga sempat berdiskusi dengan kader HMI tentang
politik di kampus yang selalu dimenangkan oleh pihak mereka. Ambisiku untuk
bisa maju menjadi elit di lingkungan internal kampus kukubur saja jikalau
hasilnya tak akan berbuah apa-apa. Sebegitu pesimisnya aku ketika itu dan
sampai sekarang, gairah untuk masuk ke lingkungan internal semakin memudar.
Namun, prestasi tetap harus ditorehkan dengan IPK atsu mengikuti berbagai
perlombaan.
Awal menjadi kader HMI adalah tahapanku untuk lebih
mengenal HMI secara lebih holistik. Memang benar, HMI harus sesuai dengan
singkatan akhirannya yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan oleh banyak
pihak tentangnya, misalnya pasal shalat yang merupakan kewajiban bagi setiap
muslim. NDPers seringkali merasa sukses apabila ada kader yang tidak shalat.
Ini merupakan konstruksi pemikiran yang salah dan tidak sesuai dengan tuntunan
agama. Aku berpikir bahwa di HMI, shalat merupakan hal yang tak boleh
dilewatkan. Ternyata pikiranku salah. Beberapa oknum yang mengaku ber-HMI
seringkali melupakan hal yang sangat krusial tersebut karena alasan yang sangat
basi dan berbau apologi.
Akhirnya, pikiranku menyatakan bahwa semua organisasi
sama saja, sama-sama membuat lupa akan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang
penganut agama. Semua organisasi dapat memjerumuskanku untuk melupakan hal
urgen yang tak boleh terlewatkan. Kekecewaanku bertambah ketika tahu kualitas
Baca Tulis al-Qur’an (BTQ) kader yang semakin hari semakin tak menentu dan
sepertiya sandangan kata “Islam” di akhir perlu direkonstruksi. Kecewa dan
kecewa lagi yang kurasa.
Ditambah lagi dengan adanya perebutan jabatan
struktural yang tidak produktif. Hal ini menghambat kegiatan-kegiatan yang
seharusnya dilakukan guna meningkatkan kualitas kader. Bahkan, ditemukan
pula money politic di dalamnya. Bukan hanya itu, kericuhan
antarsaudara yang semestinya tidak dilakukan oleh orang yang berpendidikan
malah sering digencarkan. Sungguh ironi sekali jika memandang organisasi yang
dulu berfokus untuk jalan perjuangan menjadi busuk bukan karena zaman, tapi
karena oknum pengisinya adalah orang yang hipokrit dan menghalalkan segala cara
untuk memperoleh apa yang diinginkannya.
Aku kecewa ber-HMI. Itulah kata pertama yang
kuberikanketika melihat realitas yang tidak sesuai dengan idealitas. Ketika
memandu LK I online, aku dicerca dengan pertanyaanseputar realita sekarang. Dia
bertanya tentang kader HMI yang suka lempar-lemparan kursi dan ak sesuai dengan
kaidah Islam. Aku lalu menjelaskan bahwa hal itu sudah biasa karena jabatan itu
merupakan hal yang sangat penting. Jawabanku salah dan membuatkanya semakin tak
tertarik untuk ber-HMI. Apalagi ketika dia menjelaskan tentang tujuannya
ber-HMI yang bersifat materialistik. Aku jadi semakin menyesal dengan jawaban
yang telah kuberikan.
Ternyata aku salah dan aku tak boleh terlalu cepat
mengambil keputusan. HMI adalah organisasi dan organisasi itu pada dasarnya
bersifat mati. Ketika mengulik sejarah, kita akan tahu bahwa HMI didirikan
bukan untuk memperburuk keadaan bangsa dan agama, malah bertujuan untuk mempertahankan Negara
Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia serta menegakkan
dan mengembangkan ajaran agama Islam. Itulah tujuan yang pertama berdirinya
organisasi mahasiswa Islam terbesar ini.
Guru-guruku seringkali mengatakan bahwa HMI adalah
organisasi yang mengalami degradasi kualitas dari masa ke masa. Tugas kami atau
kita saat ini adalah meperbaikinya dengan menorehkan prestasi, bukan hanya
sibuk berkkontenasi. Begitulah sedikit kekecewaanku ketika ber-HMI dan
kesadaran akan pentingnya untuk memperbaiki kualitas HMI yang sesuai dengan
tuntunan agama dan bangsa. Selamat Milad HMI ke-75. Engkau sudah tua. Namun,
usia tak membatasi untuk terus melahirkan kader canggih yang siap menjadi
penolong untuk kesejahteraan umat dan bangsa.
Oleh Romadiah, Kader HMI Komisariat FITK UIN Walisongo Semarang
Post a Comment