Kontekstualisasi Trilogi Kesuksesan; Doa, Usaha, dan Kakanda
Kader, term yang sudah
tak asing lagi menggelitik telinga manusia di dunia aktivisme, termasuk di
ranah organisasi ekstra Himpunan Mahasiswa Islam. Merujuk dari petunjuk formal
dari buku pedoman perkaderan HMI, AS Hornby bersuara : “Cadre is small group of people who are specially chosen and trained
for a particular purpose”. Lewat lisan pribumi, dapat diartikan bahwa kader
merupakan sekelompok kecil yang dipilih lalu dibina secara terus-menerus untuk
menjadi tulang punggung kelompok yang lebih besar.
Merujuk pada makna
harfiah, cadre berarti bingkai.
Secara filosofis bingkai mengandung makna yang mendalam. Bingkai berfungsi
untuk menopang dan menegakkan kertas ataupun foto yang ada di dalamnya. Jika
tak ada bingkai, kertas atau foto sudah pasti akan nglempuruk dan tentunya tak sedap dipandang bola mata. Maka, kader
juga memiliki tanggung jawab untuk menegakkan tatanan organisasi yang sedang
digelutinya dalam ranah sempit, dan masyarakat dalam perspektif yang lebih
luas.
Urgensi
perkaderan
Himpunan Mahasiswa
Islam, menggantungkan harapan pada proses perkaderan sebagai jantung
organisasi. Di himpunan ini, sudah dimaktubkan platform perkaderan secara
jelas. Tercantum aturan bahwa kader bisa menempuh perjalanan training-training,
baik formal, non-formal, maupun in-formal. Training formal meliputi Latihan
Kader I, Latihan Kader II, dan Latihan Kader III. Training non-formal terdiri
dari Latihan Khusus Kohati, Latihan Kader Sensitif Gender, Training Instruktur,
Senior Course, dan lain sebagainya.
Sedangkan training in-formal menaungi wilayah follow up, up grading,
diskusi, dan seterusnya.
Dimimpikan, jika kader
menempuh jenjang training secara sempurna, maka bisa dipastikan ia akan
mencapai kualitas insan cita. Bukan, tidak mungkin bisa mencapai kualitas insan
cita secara sempurna. Paling tidak, lima puluh persen kualitas tersebut bisa
dicapai. Tidak hanya harapan utopis yang menghiasi konstitusi pada Anggaran
Dasar HMI Pasal 4, tujuan HMI. Tidak hanya mimpi semu yang dielu-elukan setiap
hari tanpa ada upaya ke arah gerakan untuk merealisasikannya melalui pasal 5
Anggaran Dasar HMI, Usaha.
Motivasi
lurus dalam berkader
Berbondong-bondong kader
HMI mencoba untuk menamatkan jenjang perkaderan. Biasanya, enam bulan pasca
Latihan Kader I, mereka akan berlomba menyusun karya tulis sebagai persyaratan
mengikuti training Latihan Kader II. Secara kasat mata, hal tersebut memang menjadi
kabar yang menggembirakan. Terkesan progresif dan pro-aktif. Tetapi, usut punya
usut, motivasi kader dalam meneruskan jenjang perkaderan bervariasi bak
persimpangan jalan yang berbeda tujuan. Ada yang murni untuk belajar, ada yang
terbaur dengan kepentingan politik, ada yang tergiur dengan iming-iming
jejaring, dan berpuluh motif lainnya.
Niat murni untuk
berkader dan memperbaiki kualitas, penulis rasa adalah motivasi terbaik. Meski
tak dipungkiri, bahwa training sependek sepekan lebih tiga hari tidak mungkin
bisa serta merta mengubah tradisi intelektual kader. Ada ritual-ritual
intelektual panjang yang harus ditempuh untuk meningkatkan kualitas intelektual
dari low menjadi middle, lalu menjadi hight. Paling tidak, zona waktu sepangkas
sepuluh hari dapat menimbulkan ghirah intelektual, pengabdian, serta
pengembangan bakat minat kader.
Keresahan berkelanjutan menghinggapi pikir dan nurani
tubuh HMI, ketika dihadapkan dengan realita training himpunan sekarang, ada udang
dibalik batu permata jenjang perkaderan. Sudah menjadi rahasia umum, ada teknik
“lobi-lobi Yahudi” antarsenior untuk junior yang ingin mendaftar sebuah training. Praktik ini diperhalus dengan
istilah “politik balas budi” atau dalam bahasa jalanan penulis sebut tak
ubahnya seperti barter kader.
Apabila kader yang
direkomendasikan memang berkualitas, maka tak ada masalah. Akan tetapi, jika
yang direkomendasikan adalah yang minus kualitasnya, bahkan hanya bergantung
pada hasil lobi “Sang Kakanda”, tentu akan mencederai moral perkaderan
himpunan. Penyakit yang lebih kritis, ketika ada pengurus di tingkatan tertentu
yang belum memenuhi kualifikasi secara jenjang perkaderan, akan tetapi sudah
dipaksakan untuk masuk ke tubuh kepengurusan. Padahal ada kader lain yang lebih
memenuhi kualifikasi untuk memegang peran. Di tengah-tengah periode
kepengurusan, ia akan melanjutkan jenjang perkaderan, tentunya dengan tangga
jembatan lobian.
Praktik
plagiarisme
Mengirimkan makalah,
jurnal, atau artikel merupakan prasyarat bagi kader yang ingin mendaftar LK II,
LK III, LKK, maupun SC. Sayang seribu sayang melayang, beberapa indikasi kasus
plagiarisme pada karya tulis yang dikirim kader untuk mendaftar Latihan Kader
II dan seterusnya telah menodai marwah literasi himpunan. Rahasia khalayak mengungkap bahwa kader-kader
menjadikan makalah senior sebagai karya yang bersifat estafet. Tak ada lagi
jiwa fighter dan idealisme yang
dijunjung tinggi. Agus Salim Sitompul dalam buku “44 Indikator Kemunduran HMI”
memang telah menyebutkan bahwa salah satu indikasi mundurnya HMI adalah
menurunnya budaya literasi para kader. Jika Lafran Pane dan Cak Nur tahu akan
tergoncangnya moralitas kader saat ini, tentu akan bereaksi keras. Buruknya, Steering Commitee yang menyeleksi tidak
melakukan cek keorisinilan tulisan, tetapi hanya mengonfirmasi pihak-pihak yang
“menitipkan” kader cabang masing-masing.
Tokoh-tokoh besar yang
lahir dari rahim perkaderan HMI seperti Nurcholish Majid, Mahfud MD, Yudi
Lathif, Kuntowijoyo, dan lain-lain, ada karena proses perkaderannya kental
dengan budaya literasi tinggi. Prestasi mereka dibuktikan dengan menghasilkan
karya yang menjadi rujukan banyak orang. Maka, tak ada yang bisa diharapkan
lagi dari tubuh HMI atas kelahiran pemikir-pemikir bangsa apabila tradisi
makalah estafet dan plagiarisme ditumbuhsuburkan. Tak ada lagi wajah optimis
idealis kader apabila yang dijuarakan adalah politik praktis tak berbasis
idealisme.
Trilogi
Kesuksesan
Meminjam quotes dari Capres fiktif yang sedang
viral di media sosial, yaitu Nurhadi-Aldo bahwa kunci sukses sekarang ada tiga,
yaitu doa, usaha, dan orang dalam. Dalam konteks HMI, penulis menyebutnya
sebagai trilogi kesuksesan perkaderan. Trilogi itu terdiri dari; doa, usaha,
dan Kakanda. Ketiga komponen tersebut semestinya dijalankan secara beriringan.
Jangan sampai ada kader yang hanya menggantungkan harapan pada “Kakanda” tanpa
diiringi doa serta usaha. Bab 4 Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI, “Kemerdekaan
Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)” telah menuntun manusia
supaya berusaha dan juga berdoa kepada Sang Mujib.
Sang
Nabi HMI
Badan Pengelola Himpunan,
sebagai ruh dari perkaderan HMI menggenggam peranan penting untuk mengkader.
Sebagai “nabi” di himpunan, ia bertanggungjawab atas kualitas kader. Tak sebatas
mengelola ketika di dalam forum, anggota BPL juga mengemban amanah untuk
memantau dan mengembangkan intelektualitas kader. Tanggungjawab tersebut dapat
diimplementasikan dalam bingkai agenda follow
up, up grading, dan juga diskusi.
BPL adalah guru di HMI,
sudah sepatutnya bisa digugu lan ditiru.
Tak hanya ditiru dari segi intelektualitasnya ketika berada di dalam forum,
akan tetapi perilaku moral dan religiusnya ketika di luar forum. Tak ayal, ada
anggota BPL yang sangat terlihat “Wow” ketika berdialektika di forum, tetapi praktik
keI-Islam-annya kurang. Sebagai contoh, ukur saja dari hal dasar dalam Islam,
seperti konsistensi sholat lima waktu dan kemampuan membaca Alquran. Ada pula
anggota BPL yang kering akan budaya literasi, membaca buku dan menulis. Lalu,
jika tak ada bahan yang diserap oleh anggota BPL, lantas apa yang akan
disampaikan kepada kader? Jika “Sang Guru” perilakunya tidak benar, lalu
bagaimana dengan “Si Murid”?
BPL bukanlah babby sitter yang hanya bertugas untuk
mengarahkan peserta training untuk diam, istirahat, makan, dan sholat. Jika
hanya sebatas begitu, bukan BPL pun hebat. Lebih dari itu, BPL bertanggungjawab
atas intelektualitas, religiusitas, dan moralitas para kader. Maka, tubuh BPL
pun juga harus berbenah demi terbentuknya kader yang berkualitas pula. BPL
harus mau untuk terus belajar, karena cara belajar terbaik adalah dengan
mengajar.
Sinergi
antarelemen
Permasalahan saat ini,
sering kali ada insiden lempar tanggungjawab atas perkembangan kader
antarelemen di HMI. Bidang PPPA melempar pada BPL, BPL kepada komisariat, dan
seterusnya hingga berputar seperti cokromanggilingan.
Seyogyanya, ketiga elemen tersebut bersinergi secara harmonis untuk
kemashlahatan perkembangan kader.
Sudah saatnya himpunan
ini berbenah secara serius. Jangan sampai kader era millenial hanya bertopeng
di balik kesuksesan tokoh-tokoh terdahulu. Maka, sudah seharusnya semua elemen
mengembalikan idealisme dalam proses seleksi perkaderan. Jangan lagi ada
kepentingan politis menyusup di tubuh proses perkaderan. Diharapkan, input yang baik akan menghasilkan out put yang unggul pula. Hapuskan praktik
lobi-lobi yang membohongi nurani perkaderan. Para kader yang sedang menempuh
kawah candradimuka, mari berproses dengan penuh kejujuran. Lewati proses sesuai
dengan alur dan konstitusi yang berlaku, supaya HMI benar-benar menelurkan tokoh-tokoh
emas pada masa yang sudah seharusnya menjadi masa keemasan untuk himpunan ini.
Di bawah naungan panji hijau hitam. Semoga. Selamat milad ke-72, Himpunanku. Teruslah berbenah. Wa
Allaahu A’lamu bi Al Showab.
Shofiya
Laila Alghofariyah
Ketua
Umum HMI Komisariat FITK periode 2018-2019
Post a Comment