Simalakama Profesi Guru
Sungguh ironis.
Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi kondisi keguruan pendidikan
Indonesia saat ini. Hal ini dibuktikan munculnya banyak kasus guru yang dibawa
ke Lembaga Pengadilan lantaran dianggap salah dalam memberlakukan siswanya di
sekolah. Kasus miris hubungan guru dan murid paling fenomenal terjadi pada awal
Februari ini, Ahmad Budi Cahyono, guru muda yang kehilangan nyawa akibat
penganiayaan oleh HI (17), yang tak lain adalah muridnya sendiri di SMAN 1
Torjun pada Kamis, 1 Februari 2018 lalu. Sebuah tamparan bagi dunia pendidikan
kita. Simpati pun mengalir dari masyarakat untuk keluarga Budi, seiring dengan
hujanan kecaman bagi HI yang perilakunya dianggap tidak beradab.
Kejadian kasus guru
hanya salah satu potret dilematisnya menjadi seorang guru. Ketika melihat
kondisi pendidikan sekarang ini yang sudah terdegradasi, dari pihak guru
dituntut sebagai salah satu aktor yang bertanggung jawab atas perilaku anak.
Namun, guru justru dalam menjalankan profesinya selalu mendapatkan
perlakuan yang kurang menguntungkan yakni harus menuai protes keras dari pihak
orangtua lantaran laporan seorang siswa atas perlakuan guru yang itu sebenarnya
untuk kebaikan. Selain itu, jika perlakuan guru atas siswa sangat terbatas maka
akan terjadi ketidak sungguhan oleh guru dalam mendidik karakter siswa. Dan
yang terjadi adalah jika kondisi moral pendidikan bangsa ini rusak maka guru
lah yang menjadi salah satu “biangkerok” dalam mendidik anak negeri ini, selain
dari lingkungan orangtua dan lingkungan masyarakat.
Tentu saja, hal ini
mengingatkan kepada para guru dan masyarakat sekalian bahwa profesi guru
merupakan profesi yang sangat dilematis. Pasalnya, guru dalam menjalankan
profesinya selalu was-was akan hukum perundang-undangan yang selalu
menggandrunginya, seperti UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Sebagaimana pengaduan orang tua terhadap tindakan penganiayaan yang dilakukan
pendidik pada kasus di atas.
Tanggung Jawab Guru
Atas kasus di Sidoarjo
tersebut, berbagai reaksi kegelisahan para guru muncul di mana-mana. Reaksi itu
lebih merupakan kekhawatiran sekaligus juga “ancaman” kepada orang tua dan para
pemangku kebijakan. “Jangan
salahkan guru wahai, Pak Presiden, Jika anak-anak Indonesia, menjadi anak-anak
bajingan. Jika anak-anak bangsa, menjadi anak-anak berandalan. Jika anak-anak
generasi muda, menjadi anak-anak tak beraturan, Karena kami mendidik mereka
sambil ditodong hukum pidana.” Karena tidak semua anak-anak itu dididik dengan
lemah lembut, karena prilaku anak juga tergantung prilaku orang tua, Kalau
orang tuanya tidak benar, sudah pasti prilaku anaknya jadi tidak benar “Buah
jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”. Bisa jadi perilaku anak yang kurang baik
itu berasal dari lingkungan keluarga maupun dari lingkungan masyarakat.
Sehingga guru dalam menjalankan profesinya salah satunya bertanggung jawab atas
aspek tingkah laku siswa. Seagaimana teori Benjamin S. Bloom guru harus menilai
siswa dalam tiga ranah yang salah satunya adalah ranah afektif atau perilaku (Akhlaq).
Selain itu, Wijaya
(1994), menyebutkan salah satu tanggung jawab guru yang memerlukan kemampuan
khusus, adalah tanggungjawab moral yaitu setiap guru harus memiliki kemampuan
menghayati perilaku dan etika yang sesuai dengan moral Pancasila dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jikalau ada perilaku siswa yang
tidak sesuai dengan etika yang benar maka harus mendapatkan hukuman atau
konsekuensi sesuai dengan kesalahan tindakan yang dilakukannya. Ini akan
berlaku aturan reward dan punishment untuk siswa. Artinya, jika siswa
berprestasi maka akan mendapatkan penghargaan untuk terus meningkatkan
prestasinya. Begitu pula sebaliknya, jika siswa melanggar atau melakukan
kesalahan, maka akan mendapatkan hukuman atau balasan yag setimpal. Strategi
ini bukan lain demi untuk kebaikan dan pendidikan khususnya pada tingkah laku
siswa. Dalam hal ini, guru tetap berjuang dan bertanggungjawab atas profesinya
untuk terus memperbaiki karakter atau tingkah laku generasi bangsa. Walaupun
banyak ancaman yang menghadang di hadapannya sebagaimana kasus-kasus yang sudah
terjadi.
Dalam mendidik siswa
kami mempunyai beberapa tahapan, di antaranya adalah Pertama, Jika siswa benar-benar melakukan
kesalahan maka kita tindak dengan lemah lembut sebanyak satu sampai dengan tiga
kali. Kedua, jika anak kurang menyadari kesalahanny
maka kita tegur dengan agak keras. Ketiga, jika
belum nurut lagi maka kita tegur dengan keras. Selanjutnya yang keempat, kita beri tindakan dengan fisik tidak
dengan keras. Lalu yang kelima, kita
tindak dengan fisik yang lebih keras dengan tanpa melukai. Tindakan terakhir
jika anak tidak bisa merubah tingkahlakunya maka kita panggil orang tuanya.
Kesadaran Orang Tua
Untuk mencetak
siswa-siswi yang berkualitas dan berintegritas tinggi, kerjasama antara guru
dengan orang tua murid sangat diperlukan. Jika guru bertindak sesuai dengan
ilmu pendidikan yang dimilikinya, maka seharusnya orang tua mengerti akan hal
itu. Orang tua yang tidak mengerti terhadap kepercayaannya kepada sekolah atau
guru, akan bertindak bodoh, ketika terjadi sesuatu permasalahan.
Perlu diketahui oleh
orang tua didik ketika sudah memilih dan mendaftarkan anaknya ke sekolah yang
sudah dianggap mampu mendidik anaknya dengan baik nantinya maka harus
percaya bahwa tanggungjawab pendidikan sepenuhnya beralih pada guru-guru
di sekolah. Jika nantinya dalam proses belajar ada kesalahan tindakan yang
dilakukan oleh anaknya maka jangan menyalahkan guru dalam memberikan treatmen tertentu pada anak didik di sekolah yang
melakukan pelanggaran. Walaupun status social orangtua lebih tinggi dibannding
dengan menjadi pendidik. Kesadaran di atas seharusnya dimiliki orang tua siswa
agar tidak terjadi salah paham diantara orang tua dan guru.
Peristiwa yang
terjadi belakangan ini, mau tidak mau, haus dipahami sebagai bahan pembelajaran
agar guru lebih meningkatkan profesionalitas. Sebab, perdebatan sampai kapanpun
dan dengan cara apapun, guru harus lah tetap melanjutkan tugas mulianya, yaitu
mengajar dan mendidik murid-muridnya, agar menjadi pribadi manusia yang cerdas,
terampil dalam berbagai hal, dan berakhakul karimah. Aamiin.
Oleh: Slamet Luqman Chakim, Ketua Umum HMI Komisariat Tarbiyah Walisongo Semarang Periode 2013-2014
Artikel ini dimuat di Koran Wawasan. Diambil
dari: Militan.co
Post a Comment