Header Ads

Rekontruksi Pendidikan Indonesia


Oleh: Muhammad Khoirul Anam, Mahasiswa Pendidikan Fisika UIN Walisongo Semarang

Belum lama ini, Indonesia telah mendapatkan gelar terhormat sebagai negara dengan herarki pendidikan terburuk nomor dua.  Dari 65 kontestan, Negara Indonesia menempati peringkat ke 64. Inilah yang menyebabkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan menyebut bahwa pendidikan Indonesia berada dalam kondisi gawat darurat. Pernyataan ini bersumber dari realitas yang ditemukan Mendikbud pada The Program for International Student Assessment (PISA) yang menempatkan Indonesia pada rangking 64 dari 65 negara.
Realitas yang memilukan ini ditegaskan PISA bahwa tren kinerja pendidikan Indonesia pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012, masih jalan di tempat. Dengan kata lain, selama kurun waktu 12 tahun terakhir kinerja pendidikan Indonesia belum menuai peningkatan yang signifikan. Bahkan, Indonesia acap kali dilanda permasalahan pendidikan yang cukup memilukan sekaligus memalukan, mulai dari kasus guru yang gila harta dan melakukan kekerasan, sistem pendidikan yang porak poranda, dan yang paling parah adalah kenakalan pelajar merajalela di setiap sudut negeri ini.
Berdasarkan realitas tersebut, maka tidaklah salah apabila Mendikbud RI mencetuskan bahwa pendidikan Indonesia gawat darurat. Tidak hanya berdasarkan rendahnya herarki pendidikan Indonesia di muka dunia, atau problem moral yang menghinggapi sebagian pendidik dan peserta didik Indonesia saja. Jika disoroti dari keadaan fasilitas pendidikan, keadaan pilu tersebut akan semakin dalam. Berdasarkan hasil pemetaan 40000 sekolah di Indonesia pada tahun 2012, Kemendikbud memaparkan bahwa 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar minimal layanan pendidikan. Kondisi ini dibuktikan dengan kondisi sekolah yang sangat jauh dari kata layak.
Sudah menjadi rahasia publik bahwa fasilitas pendidikan yang memadai tidak cukup untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas. Untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas, Indonesia memerlukan pendidk-pendidik yang berkualitas demi menumbuh-kembangkan bibit-bibit yang kedepanya menjadi generasi berkualitas pula. Akan tetapi, realitas berkata lain. Kualitas pendidik di Indonesia belum memenuhi standar yang ditentukan. Hasil uji kompetensi para guru yang dilakukan Kemendikbud pada 460000 guru, menunjukkan hasil yang mengenaskan. Sebab, nilai rata-rata uji kompetensi guru hanya bernilai 44,5, sedangkan standar minimal rata-rata yang ditentukan adalah 70.

Revitalisasi Peran Guru
Guru atau yang bisa disebut kaum intelektual sejati, memang sangat berperan dalam menciptakan pendidikan yang baik dan berkualitas tinggi. Bahkan guru memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan negara. Sejak zaman yunani kuno guru sudah memiliki peran yang sangat menonjol. Hanya saja pada zaman yunani kuno guru disebut dengan nama shopis. Meski pada saat itu peserta didik dipungut biaya, setidaknya sudah ada pendidik yang berusaha mencerdaskan peserta didik. Guru yang ideal adalah guru yang berkualitas. Dengan standardisasi kualitas yang dimiliki minimal sesuai dengan standar yang ditentukan pemerintah.
Tidak hanya berkualitas, akan tetapi seorang guru juga dituntut mempunyai moral yang baik. Karena guru dalam pendidikan berperan langsung dalam mencerdaskan dan memanusiakan manusia. Dengan kata lain, guru menumbuhkan moral yang baik pada setiap anak didiknya. Dengan peran mulia seperti itu, patut jika guru dimasukkan dalam golongan para pahlawan. Bahkan, guru diberikan predikat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa oleh sebagian masyarakat.
Namun realitas lagi-lagi berkata lain. Saat ini guru sangat jauh dari kata ideal. Bahkan, kini peran guru sudah tercoreng akibat banyaknya persoalan di dunia pendidikan. Guru yang seharusnya mencerdaskan bangsa, kini malah mengalami degradasi baik dalam ranah spiritual—dibuktikan dengan anjloknya moral—maupun intelektual. Banyak guru yang masih berada di bawah kata ideal. Dengan kata lain, belum memenuhi kulifikasi untuk menjadi seorang pendidik profisional.
Bukan hanya itu, wajah buruk sebagian guru kini bertambah parah akibat terlampau banyak kekerasan fisik yang mereka lakukan. Yang lebih menghebohkan jagad pendidikan Indonesia adalah banyaknya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru pada muridnya. Hal ini sangatlah tidak sesuai dengan peran dasar seoarang guru, yakni sebagai pentransfor ilmu dan moral. Terkait dengan problem ini, maka harus dilakukan upaya guna mengembalikan peran guru pada dasarnya, sehingga akan tercipta pendidikan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Peran Pemerintah
Upaya yang harus dilakukan pemerintah diantaranya memperbaiki kualitas guru di seluruh sudut negeri ini. Hal itu bisa dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat standardisasi untuk diterimanya calon guru. Tidak lupa, pemerintah juga harus mensejahterakan guru, membebaskan guru dari segala kepentingan politik praktis, dan membantu dunia bisnis agar memberikan program-program potongan harga pada guru. Dilain itu, pemerintah juga harus benar-benar menegakkan undang-undang perlindungan anak dengan sangsi yang membuat jera. Sehingga, angka kekerasan pada anak bisa direduksi. Selain penanganan pada problem guru yang telah menodai pendidikan Indonesia, pemerintah juga harus memperbaiki pendidikan Indonesia sampai ke akar-akarnya.
Di sisi lain merevitalisasi peran guru dan melakukan gerakan meningkatkan kemuliaan serta mutu guru, memperbaiki pendidikan dari internal itu juga penting. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan reformasi pendidikan seperti yang dilakukan negara-negara lain. Mengubah pendidikan dapat dianalogikan dengan mengubah arah kapal tangker. Karena mengubah pendidikan tak semudah mengubah arah speed boat. tapi, meskipun demikian pemerintah dan masyarakat harus ikut serta dalam mengubah pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik dan bersih. Sehingga, akan terciptanya pendidikan Indonesia dengan performance terbaik di gencah internasional. (#)

Diambil dari: www.koranmuria.com

No comments

Powered by Blogger.