Rekonstruksi Persepsi Desakralisasi Bahasa
Oleh: Shofiya Laila Alghofariyah* |
Manusia memerlukan alat pemersatu untuk berkomunikasi dengan sesamanya, yaitu bahasa. Menurut teori linguistik, bahasa tercipta dengan cara arbitrer, yaitu berdasarkan kesepakatan yang diciptakan oleh suatu kelompok yang tinggal bersama. Lalu, bagaimana cara menciptakan kesepakatan bahasa apabila penduduk di dunia ini terdiri dari banyak kelompok yang masing-masing mempunyai perbedaan bahasa? Solusinya adalah memilih salah satu bahasa sebagai bahasa internasional. Untuk era ini, bahasa Inggris berhasil menduduki posisi sebagai bahasa internasional.
Secara historis, bahasa Inggris memang berasal dari daratan Eropa yang
kebanyakan penduduknya beragama non muslim. Maka, ada beberapa golongan yang
memberikan cap haram untuk bahasa Inggris, baik mempelajari ataupun untuk
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Alasannya adalah bahwa umat muslim
dilarang untuk menyamai orang-orang kafir. Padahal ada hal-hal yang perlu
dikaji lebih mendalam lagi tentang Bahasa Inggris.
Mengalami Desakralisasi
Penulis memberikan nama-nama hari dalam Bahasa Inggris sebagai salah satu
kasus yang perlu ditelaah. Awalnya, kata Day berasal dari
Bahasa Yunani yang berarti Dewa. Mereka menamakan masing-masing hari sesuai
dengan Dewa yang mereka sembah. Penamaan hari-hari itu pun meluas penggunaannya
hingga ke negara-negara lain. Akan tetapi, dahulu dan sekarang sudah berbeda.
Jika dahulu di Yunani penyebutan nama hari dianggap keramat karena berkaitan
dengan penyembahan Dewa, maka sekarang nama-nama hari tersebut sudah mengalami
desakralisasi, yaitu proses menghilangnya sifat sakral.
Seperti yang kita ketahui bahwa ada tujuh hari dalam satu minggu. Asalnya
berasal dari budaya dan ilmu astronomis kuno mengenai perbintangan. Berawal
dari keyakinan arstronomis budaya Romawi kuno yang percaya bahwa langit
memiliki tujuh lapisan. Lapisan tersebut bekaitan dengan tujuh benda langit
yang mereka percaya. Benda langit tersebut memiliki jarak yang berbeda sehingga
digambarkan seolah olah berlapis-lapis. Adapun yang berada di langit pertama adalah
Bulan, benda langit yang paling dekat dengan bumi. Diikuti oleh Merkurius atau
bintang Utarid di lapis kedua. Venus atau bintang kejora di lapis ketiga.
Matahari di lapis ke empat. Mars atau bintang Marikh di langit ke lima. Jupiter
atau bintang Muystari di langit keenam dan langit ketujuh yaitu Saturnus atau
bintang zirah.
Baca Juga: Polemik
Suara Adzan
Kepercayaan tentang benda langit tersebut merupakan keyakinan kuno
orang-orang Romawi yang menganggap bumi adalah pusat alam semesta. Mereka juga
percaya bahwa benda langit tersebut merupakan para dewa yang mempengaruhi
kehidupan di bumi. Adapun pengaruh dari benda langit tersebut bergantian dari
waktu ke waktu, mulai dari yang terjauh, yaitu Saturnus hingga Bulan.
Berdasarkan keyakinan tersebut, pada pukul 00.00, Saturnus dianggap paling
berpengaruh kepada kehidupan manusia, oleh sebab itu hari pertama dalam bahasa
Inggris disebut Saturday atau hari saturnus, dan diteruskan berikutnya. Pada
intinya, Pembagian hari dibagi menjadi tujuh karena didasarkan oleh kepercayaan
orang Romawi dan Yunani kuno bahwa terdapat tujuh benda langit yang dapat
berpengaruh pada kehidupan di Bumi.
Seperti halnya asal-usul pembagian hari, nama-nama hari juga berasal dari
kebudayaan dan kepercayaan masyarakat Romawi dan Yunani kuno. Tujuh benda
langit yang mereka percayai kemudian mereka jadikan sebagai dewa-dewa. Untuk
menghormati dewa-dewa yang mereka percayai, mereka kemudian mengabadikan
nama-nama dewa tersebut sebagai nama-nama hari yang mereka pakai dalam
kehidupan sehari-hari.
Hari Senin atau Monday berasal dari kata Moon’s Day atau
hari bulan. Jika dalam bahasa latinnya, dies lunae, hari bulan atau
Mona lisa berarti ‘moon lily’. Bulan kemudian
diwujudkan menjadi gambaran seorang dewa yaitu dewa Artemis yang dilukiskan
dengan bulan sabit di bawah kakinya. Hari Selasa atau Tuesday berasal
dari kata Tiu’s Day, di ambil dari nama dewa perang Tiu.
Pada bahasa latin, Tuesday juga diartikan sebagai hari Mars
yang juga merupakan sebutan dewa perang Romawi. Mereka juga memanggil Hari
Selasa dengan ‘tiu daeg’. Adapun Tiu adalah nama
dari anak laki-laki Woden dan Frigga yang merupakan berhala yang disembah
oleh imam mereka pada zaman dahulu.
Baca Juga: Derita Wanita Bercadar di Indonesia
Rabu atau dalam Bahasa Inggris disebut Wednesday, berasal dari
kata Woden’s Day. Woden juga biasa disebut degan Odin atau
Woden yang juga merupakan nama dewa –dewa mitologi Yunani dan Romawi kuno. Odin
merupakan ketua dewa yang memerintahkan Valkries dengan kuda yang berkaki delapan.
Selain itu, Woden dipercayai sebagai suami dari Frigga dan ayah dari
Thor. Wednesday dalam bahasa latin kuno juga disebut dengan
Mercury, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya yang merupakan nama benda
langit yang dijadikan dewa. Mercury sendiri merupakan dewa perdagangan,
perjalanan, ilmu pengetahuan, dan kefasihan bagi bangsa Romawi.
Thrusday merupakan nama hari yang berasal
dari Thor’s Day atau hari Thor. Pada bahasa latin Thursday juga
disebut Jupiter. Thor sendiri merupakan sebutan bagi dewa petir dan anak dari
Odin. Ia digambarkan menaiki kereta kuda yang ditarik oleh kambing dan memegang
palu Miölnir. Dia ditakdirkan untuk membunuh dan dibunuh oleh ular
Midgard. Friday atau Freyja’s Day yang juga
merupakan pengistilahan Venus. Freyja adalah dewi cinta, dikenal juga sebagai
Frigga, istri dari Odin. Freyja dilambangkan dengan ikan yang merupakan lambang
kesuburan. Diambil dari Saturn, Saturn’s Day. Adapaun Saturn adalah
dewa pertanian bagi masyarakat Roma dan pada hari tersebut dikhususkan
untuknya. Ia dipercayai telah memerintah bumi selama zaman kebahagiaan dan
kebajikan. Dewa tersebut di India dinamakan Dewa Shani. Sunday diambil
dari kata matahari, Sun’s Day dengan bahasa latin “dies
solis”. Orang-orang Babilon menyembah matahari sebagai tuhan mereka.
Pada tahun 321, Constantine mengganti nama Sabbat menjadi Sunday untuk
hari yang dijadikan sebagai hari istirahat.
Perspektif Islam
Untuk menghadapi permasalahan ini, maka ada beberapa pendapat dalam
menghukumi penggunaan Bahasa Inggris sesuai dengan konteksnya. Pertama, mempelajari
bahasa asing, demi sebuah kemaslahatan menghindari makar (tipu daya)
musuh-musuh Islam, maka hal ini diperbolehkan. Jika ada kalangan yang
menganggap bahwa orang-orang barat sebagai penjajah atau musuh bagi umat Islam,
justru bagian dari strategi agar selamat dari kejahatan mereka seharusnya
menguasai bahasa mereka. Dengan menguasai bahasa mereka, para aktivis bisa
mendapatkan informasi-informasi penting, guna menangkal makar atau tipu daya
mereka. Bahkan dalam beberapa riwayat hadits, Rasulullah memerintahkan para
sahabat untuk mempelajari buku-buku orang Yahudi yang menggunakan Bahasa
Suryani.
Kedua, sebagai wasilah dalam berdakwah kepada umat manusia,
maka mempelajari bahasa asing juga diperbolehkan. Sebab, para da’i seyogyanya
berdakwah kepada mereka yang tidak memahami bahasa Arab dengan menggunakan
bahasa kaumnya. Ketiga, jika mempelajari bahasa asing hanya sekedar
mengikuti trend, maka hal ini jelas dilarang. Mengingat di era globalisasi
sekarang ini, westernisasi terjadi secara masif. Budaya Barat yang bertentangan
dengan Islam, diadopsi oleh para remaja, seperti life style yang
akrab dengan maksiat dan mode berpakaian, termasuk cara berbicara.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mempelajari bahasa
asing tidak secara mutlak diharamkan. Terkadang mempelejari bahasa asing bahkan
menjadi kebutuhan, demi kemaslahatan, mencegah makar dan mendakwahkan agama
Islam. Namun, mempelajari bahasa asing hanya sekedar mengikuti trend Barat
sehingga jauh dari mendatangkan manfaat, maka jelas hal ini adalah haram. Dan
tidak selamanya Bahasa Inggris berarti mengikuti kesakralan agama non muslim,
karena ternyata sebagian kosa kata telah mengalami desakralisasi. Wa
Allahu A’lamu bi al shawab.
Post a Comment