Header Ads

Rekonstruksi Paradigma Sarjana

Oleh : Shofiya Laila Alghofariyah*


Jutaan mahasiswa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Mengarungi lika-liku dunia perkuliahan hingga dapat mendapatkan gelar sarjana. Kebanyakan dari mereka mempunyai tujuan duniawi, yaitu mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi serta  posisi karir yang strategis. Finansial menjadi alasan utama mereka dalam menimba ilmu pengetahuan. Padahal hakikat penuntut ilmu bukanlah seperti itu. Dalam Islam, tujuan dalam menuntut ilmu telah diatur sedemikian rupa sehingga akan mempengaruhi paradigma pada saat masih di bangku pendidikan dan akan berimbas ketika sudah lulus, apa langkah konkret yang bisa dilakukan sebagai seorang sarjana.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Imam Az-Zarnuji, tujuan dalam menuntut ilmu adalah untuk menghilangkan kebodohan. Selain itu, tujuan yang paling urgen adalah supaya dapat memberikan manfaat pada orang lain. Dan satu hal yang harus digarisbawahi adalah ilmu dicari untuk dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya sekadar peningkatan status di mata sosial. Sangat tidak berbobot apabila gelar sarjana hanyalah untuk kebanggaan dan menyombongkan diri.
Diaspora Mengabdi
Helmy Mubarok, seorang pemuda lulusan perguruan tinggi ternama di Mesir, yaitu Al-Azhar Kairo, memutuskan kembali ke tanah air  untuk mengabdi sebagai  tenaga pengajar di daerah terpencil. Setelah hampir enam tahun berjuang untuk menyelesaikan pendidikan strata satu dan pasca sarjana, ia pun memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ia bergabung di tim pengajar muda Indonesia Mengajar sebagai guru Sekolah Dasar di salah satu sekolah di Desa Apas, Kecamatan Sebuku, Nunukan. Ia tertarik untuk menjadi tenaga pengajar karena selama ini ia merasa belum pernah berbuat sesuatu untuk Indonesia. Ketika masih di Mesir, mengabdi untuk Negara ia lakukan dengan tulisan. Sedangkan untuk mengabdi secara nyata baru kali ini ia lakukan.
Bagi pemuda kelahiran Bandung, 10 Juni 1992 ini, mengabdi di daerah terpencil tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak sekali tantangan baru yang ia dapatkan. Ia harus mampu beradaptasi dengan masyarakat yang berbeda agama. Selain itu, ia kesulitan untuk berkomunikasi dengan keluarganya karena disana jaringan telepon selular sangat sulit. Sarana Prasarana lain pun juga masih serba terbatas. Sehingga ia benar-benar merasakan perjuangan sebagai seorang guru sejati tanpa mengharapkan kesejahteraan finansial dari hasil mengajar.
Pada awalnya orang tuanya menolak idenya untuk mengabdi di daerah terpencil, karena menganggap bahwa lulusan luar negeri sepertinya tidak cocok untuk mengabdi di daerah terpencil, apalagi hanya menjadi guru Sekolah Dasar, tetapi lebih cocok untuk mengabdi di perguruan tinggi atau lembaga negara. Tanpa memikirkan gelar bergengsi yang telah ia dapatkan, ia tetap melaksanakan keinginan tersebut. Dan akhirnya ia berhasil mengantongi izin dari orang tuanya.
Baginya, yang dibutuhkan untuk menjadi seorang guru dengan lulusan luar negeri bukan hal yang aneh, karena sebuah status kelulusan bukan menjadi tolak ukur bagi seseorang untuk berkontribusi untuk negara. Terpenting baginya adalah sebuah pengabdian untuk anak-anak yang ingin mendapatkan ilmu, karena setinggi apapun ilmu yang diperoleh, jika tidak disalurkan maka hanyalah kesia-siaan.
Merubah Paradigma
Kisah di atas seharusnya dapat ditiru oleh para sarjana lainnya. Seorang lulusan pascasarjana luar negeri saja tidak sungkan untuk mengabdi pada masyarakat tanpa mengharapkan imbal jasa gaji. Sudah seharusnya sebagai sarjana bersedia mendedikasikan diri untuk mengembangkan kemajuan di masyarakat. Tidak hanya berpikir hipokrit hanya ingin mendapatkan penghasilan tinggi dan gelar yang bergengsi di masyarakat. Tidak hanya sebagai pencari pekerjaan, tetapi juga sebagai pencipta lapangan kerja.
Maka pemerintah juga harus memfasilitasi para sarjana yang ingin mengabdi untuk Indonesia dalam bidang apapun. Seperti program pemerataan tenaga pengajar, penelitian ilmiah, serta pengembangan ekonomi mandiri. Selain itu, kurikulum penjurusan di perguruan tinggi pun juga harus melalui tahap evaluasi secara berkelanjutan. Seharusnya antara peran sarjana sebagai pencipta lapangan pekerjaan disesuaikan dengan kurikulum pada jurusan di perguruan tinggi. Kurikulum seharusnya berisi pelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan sebagai pencipta lapangan pekerjaan. Sarjana yang baik adalah yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan minimal untuk dirinya sendiri kemudian untuk orang lain.
Sarjana sebagai ilmuwan mengemban peran penting di masyarakat  yang seharusnya dijalankan. Peran tersebut adalah menjaga martabat  keilmuwannya, memperluas wawasannya dengan penemuan baru, serta menjaga keterampilannya. Maka marilah meluruskan niat dan tujuan dalam menuntut ilmu, khususnya dalam usaha meraih gelar sarjana di bangku perguruan tinggi, serta yang terpenting adalah apa langkah konkret yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar setelah gelar sarjana tersebut berhasil didapatkan. Wallahu a’lamu bi al showab.


*Ketua Umum HMI Komisariat FITK UIN Walisongo Semarang

No comments

Powered by Blogger.