Header Ads

Polemik Sarjana dan Intelektualitas


Pendidikan merupakan salah satu proses penting dalam kehidupan manusia. Melalui proses ini, manusia bisa berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Sehingga, bisa melahirkan manusia yang utuh dan sesuai dengan harapan masyarakat. Pendidikan seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap proses pencerdasan dan pemberdayaan bangsa. Namun, hal ini perlu dikaji kembali bahwasanya pendidikan tak selalu kohern dengan tingkat pemberdayaan dan kemandirian manusia. Akibatnya, dengan semakin bertambahnya tingkat pendidikan selalu berimplikasi pada ketergantungan dengan pihak lain.
Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini diupayakan melalui pendidikan nasional dengan menyelenggarakan berbagai bidang pendidikan di seluruh Indonesia. Harapanya, melalui pendidikan ini masyarakat Indonesia tidak hanya cerdas, akan tetapi akhirnya juga mampu meningkatkan sumber daya manusia menjadi lebih baik lagi. Selain itu, melalui pendidikan juga  masyarakat dapat mengembangkan pemikirannya, melalui ilmu yang mereka dapatkan. Sehingga setelah lulus studi, mereka bukan hanya mencari pekerjaan, akan tetapi bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Semakin bertambahnya ilmu yang dimiliki seseorang, seharusnya membuat yang bersangkutan mempunyai kepribadian yang arif, dan lapang  jiwa serta bathinnya. Akan tetapi semakin tinggi tingkat keilmuan seseorang terkadang belum tentu menjadikan lebih bijak dan arif pelakunya. Bahkan pada realitanya, sering kita jumpai oang yang lebih tinggi kedududukannya, lebih tinggi tingkat strata keilmuan dan intelektualitasnya, justru malah bukan memanfaatkan potensi yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Kebanyakan mereka cenderung  otoriter  dalam hal kekuasaan dan jabatan yang disandangnya, seperti yang terjadi dalam kalangan pejabat-pejabat tinggi negara dewasa ini. 

Ironi Dunia Pendidikan       

Di Indonesia, setidaknya  ada dua hal yang menjadi permasalahan pokok mengenai dunia pendidikan, yaitu pendidikan spiritual dan pengangguran terdidik. Permasalahan pendidikan spiritual mengakar pada ketidaksesuaian antara porsi pendidikan dengan pendidikan mental dan intelektual. Akibatnya tentu saja bisa kita lihat secara langsung, dimana semakin merajalelanya kasus korupsi, monopoli, kolusi, manipulasi, dan lain segala macam kejahatan birokrasi di negeri ini. Jika hal ini dikolerasikan dengan bidang pendidikan yang pernah dienyam, pelaku kejahatan seperti ini tentu bukan dari kalangan orang sembarangan. Akan tetapi, kebanyakan  mereka berasal dari orang-orang yang tergolong berpendidikan tinggi, sebut saja para pejabat negeri ini.
Pengangguran terdidik merupakan masalah berikutnya yang cukup serius dalam negeri ini. Pengangguran diibaratkan sebagai hantu dan momok yang menyeramkan bagi masyarakat. Tidak memperdulikan mereka berasal dari golongan terdidik atau tidak, masalah pengangguran selalu dikaitkan dengan masalah pendidikan. Dengan asumsi bahwa seseorang yang telah mengenyam pendidikan tinggi, bahkan telah bergelar sarjana, akan mampu berfikir kritis. Sehingga, jika semua itu tidak sesuai harapan, akan menjdikan sorotan yang lebih dari masyarakat. Pendidikan yang semula diharapkan mampu mengangkat status   sosial, akan tetapi malah semakin menjadikan beban moral dalam pergaulan dalam masyarakat.
Jika diadakan penelitian secara lebih mendalam, jumlah pengangguran yang ada di Indonesia kian tahun semakin meningkat, terlebih lagi ditengah-tengah krisis ekonomi saat ini. Lulusan sarjana yang seharusnya mampu berfikir kritis untuk dapat merubah nasib diri, realitanya belum sesuai harapan bersama. Hal ini, tentunya menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita belum mampu menjadikan lulusannya berjiwa enterpreneurship. Bahkan, lulusan sarjana saat ini  cenderung mengandalkan mencari pekerjaan daripada menciptakan lapangan kerja sendiri. Mereka cenderung berfikir sempit  dan hanya berfikir untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan masing-masing. Bahkan, kita ketahui lulusan sarjana yang dihasilkan setiap tahunnya juga terus mengalami peningkatan. Sehingga, hal ini berakibat pada sempitnya lapangan pekerjaan yang ada.

Potret Lulusan Sarjana

Perlu kita ketahui bersama, bahwa dunia pendidikan kita terjebak pada kata “how to use”, sehingga hanya menghasilkan produk sarjana yang konsumtif saja. Akibatnya, banyak lulusan sarjana yang tidak bisa memanfaatkan kreativitasnya. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada hanya sebagai pencetak tenaga kerja yang terampil. Bahkan lebih parahnya, pemaknaan tujuan pendidikan selalu dikaitkan dengan lapangan pekerjaan kedepannya, seperti bagaimana kedudukannya, gajinya berapa, fasilitasnya apa, dan lain sebagainya. Dengan demikian, ketika produk sarjana yang dihasilkan dihadapkan dengan lapangan pekerjaan yang sempit, mereka tidak bisa mengolah kemampuan yang dimilikinya menjadi sesuatu yang menghasikan produktivitas. Sebab, mereka tidak mampu memanfaatkan intelektualitas yang dimiliki secara maksimal.
Oleh karena itu, terkadang apa yang dicita-citakan tidak selalu sejalan dengan apa yang diharapkan. Sebagaimana lulusan sarjana yang dicetak oleh lembaga-lembaga pendidikan, belum tentu dapat merubah perkembangan mental dan moralnya. Tidak ada jaminan juga, bahwa membengkaknya lulusan sarjana dapat merubah nasib negara menjadi lebih maju dan baik, apabila tidak mampu mengembangkan intelektualitas yang dimiliki. Jadi, sebuah ironi yang harus dijadikan renungan bersama, bahwa untuk apa berpendidikan tinggi namun malah semakin menjauhkan diri dari sang pencipta dan menimbulkan semakin terpuruk dan rumitnya permasalahan negeri ini.
Menjawab berbagai polemik tersebut, maka perlunya dilakukan pengkajian ulang mengenai sistem pendidikan yang ada saat ini, sehingga kedepannya sistem pendidikan yang diterapkan harus mampu mewadahi tiga aspek dasar kehidupan manusia yaitu spiritual, intelektual, dan mental. Harapannya, dimasa yang akan datang akan dihasilkan sarjana-sarjana multidimensional yaitu sarjana dengan kapasitas mental, moral, dan intelektual. Wallahu a’lam.
Oleh : Khanifatul Azizah, Mahasiswi Jurusan PAI Fakultas Imu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang
 Diambil dari: www.militan.co 

No comments

Powered by Blogger.