Merehabilitasi Generasi Pecandu Gadget
Oleh: Mohamad
Izzat Alwi, Mahasiswa Pendidikan Matematika UIN Walisongo Semarang, Ketua Umum HMI Komisariat FITK UIN Walisongo Semarang Periode 2017-2018
Seiring
dengan semakin berkembangnya IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), sarana
komunikasi khususnya, mengalami gradasi pesat di Indonesia. Salah satu yang
sedang mengetren yaitu gadget. Gadget berasal dari bahasa inggris yang berarti
perangkat elektronik kecil yang memiliki fungsi khusus. Perbedaannya dari alat
elektronik lainnya ialah unsur “inovasi”. Artinya, semakin bertambahnya waktu,
alat ini semakin menawarkan sesuatu yang baru.
Di samping itu, harga gadget sangat beragam. Mulai
dari jutaan hingga ratusan ribu rupiah. Namun, karena adanya kompetisi dagang,
banyak produsen yang menawarkan produk dengan harga murah. Baik itu berupa
smartphone, tablet, ipod, dan lain sebagainya.
Hal tersebut mengakibatkan maksimumnya antusias para
konsumen untuk memilikinya, khususnya remaja. Bahkan, alat komunikasi canggih
ini sudah menjadi kebutuhan primer bagi mereka. Kapanpun dan di manapun tak
pernah lupa untuk dibawa.
Mereka seolah menganggap bahwa gadget merupakan
pasangan hidupnya. Pasangan yang selalu setia mengisi kekosongan waktunya.
Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur, gadget selalu menemaninya. Iya,
sungguh besar kesetiaan mereka dalam berdedikasi bersama gadget.
Berdasarkan survei dari UNICEF, Kementerian
Komunikasi dan Informasi, The Berkman Center for internet and society, dan Harvard
University menunjukkan bahwa, sekitar 30 juta pengguna internet adalah remaja.
Dan 25 persennya menggunakan gadget sebagai medianya.
Tidak dapat dipungkiri, generasi muda era ini sangat
ketergantungan dengan gadget. Hal ini mengakibatkan dampak besar terhadap
transformasi mental mereka. Transformasi dari berbagai aspek kehidupan
anak-anak Bangsa.
Pertama, dalam aspek dunia pendidikan. Karena gadget
difasilitasi internet, semua informasi dapat diakses dengan praktis dan mudah.
Kemanjaanpun mulai terbentuk pada jiwa remaja. Sehingga mengakibatkan kemalasan
melakukan hal-hal positif. Seperti belajar, membaca, dan lain sebagainya.
Selain itu, ketika ujian misalnya, mereka tidak
perlu belajar. Mereka hanya perlu membawa gadget dan mengakses apapun untuk
menjawab soal-soal saat ujian. Meski mendapat kuantitas nilai yang bagus,
tetapi kualitas keilmuan mereka masih jauh dari harapan. Jadi tidak heran,
semakin kesini kualitas pendidikan Indonesia semakin mendegradasi.
Hal ini diperparah dengan adanya penyalahgunaan fasilitas internet. Salah
satunya yaitu mengunjungi situs-situs terlarang (pornografi), seperti foto-foto
hot, video dewasa, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat memengaruhi kondisi
seks remaja. Dikhawatirkan, mereka tidak hanya melihat, tetapi juga
mempraktikannya.
Kedua, fasilitas gadget tidak hanya itu, melainkan
ada yang lain, yaitu kamera kualitas tinggi. Di samping kualitas jepretannya
bagus, tetapi juga ada banyak opsi aplikasi yang menunjangnya, seperti selfie
camera app, camera 360, candy camera, dan lain sebagainya. Hal tersebut memicu
ketertarikan remaja untuk semakin antusias mengambil foto sebanyak-banyaknya.
Mulai dari foto pemandangan alam, gedung-gedung megah, sampai foto dirinya
sendiri (selfie).
Narsisme mulai mendarah daging dalam diri remaja.
Tidak mengenal di mana dan kapan. Mereka tetap narsis dan merasa dirinyalah
yang paling cantik atau ganteng. Padahal, kecintaan terhadap diri sendiri
secara berlebihan dilarang dalam islam. Sebagaimana firman Allah dalam
al-Qur’an, “…..sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
(QS al-An’am[6]: 141).
Ketiga, dapat memengaruhi jiwa sosial anak. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya fasilitas social network, seperti BBM,
facebook, twitter, whatsapp, dan lainnya. Akibatnya, mereka lebih sering
bersilaturrahmi lewat dunia maya dibanding dunia nyata.
Lebih dari itu, mereka justru lebih senang curhat
lewat social network dibanding dengan orang tuanya. Salah satunya dengan update
status ketika galau maupun bahagia. Sungguh ironis, peran orang tua sebagai
tempat curhat justru tergantikan oleh fatamorgana dunia maya.
Hal tersebut merupakan cerminan para (generasi)
pecandu gadget. Bukan hanya narkoba yang bisa memberi efek candu terhadap
penikmatnya, tetapi juga gadget. Bukan tidak mungkin efek candu gadget lebih
dahsyat dibanding efek candu narkoba.
Di sini peran orang tua sangat dibutuhkan dalam
mengontrol buah hatinya. Sebab, orang tualah yang paling berwewenang serta
mempunyai tanggung jawab lebih. Yaitu dengan mengecek setiap saat gadget sang
anak; memberi sanksi apabila melanggar; dan lain sebagainya. Dengan begitu,
diharapkan bisa memberi efek jera terhadap sang anak.
Selain itu,
orang tua diharapkan bisa merehabilitasi buah hatinya yang sudah ketergantungan
terhadap gadget. Dengan memberi bimbingan khusus, seperti menanamkan
nilai-nilai moral, agama, dll. Dengan demikian, diharapkan mereka bisa
mempergunakan gadget untuk kegiatan yang positif. Jika generasi mudanya sehat
(jasmani maupun rohani), maka Indonesia juga sehat (maju). Wallahu a’lam bi
al-shawab. (*)
Diambil dari: www.koranmuria.com
Post a Comment