Header Ads

Menyoal Sekolah Tanpa PR

Oleh : Shofiya Laila Alghofariyah*

Beberapa waktu yang lalu, saat menghadiri acara pelantikan Dirjen Guru dan Tenaga Pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi menyatakan adanya rencana kebijakan pendidikan model baru. Kebijakan tersebut adalah penghapusan PR di sekolah. Menurut Muhadjir, guru sebaiknya menyelesaikan semua pelajaran di sekolah. Sehingga sesampainya di rumah, siswa bisa melakukan hal-hal lain, seperti membantu orang tua, berkumpul bersama keluarga, dan lain-lain.
Ia melanjutkan bahwa PR sejatinya jangan dibebankan lagi kepada siswa. Jadi, sekolah-sekolah mengembangkan cara-cara belajar yang tuntas. Wacana ini sebenarnya telah mencuat kurang lebih dua tahun yang lalu. Bahkan ada beberapa sekolah yang telah menerapkan kebijakan ini, khususnya sekolah yang menggunakan sistem Full Day Schooling.
Berkaca Pada Finlandia
Setelah merunut ke belakang, munculnya usulan tersebut ternyata berkaca pada pendidikan di Finlandia. Berdasarkan hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment), siswa Finlandia selalu memperolah peringkat teratas. Hal itu membuktikan bahwa Finlandia merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Melihat hal ini, Kemendikbud pun ingin agar sistem pendidikan Indonesia tidak kalah dengan sistem pendidikan di negara-negara dengan pendidikan maju, salah satunya Finlandia.
Di Finlandia, sekolah-sekolah tidak memberikan beban PR kepada siswa. Ujian bukanlah standar guru untuk menilai kualitas siswa. Hanya ada satu tes standar wajib yaitu ketika siswa telah mencapai usia 16 tahun. Selain itu, kurikulum nasional hanyalah sebagai pedoman, sisanya bersifat fleksibel. Berbeda dengan kurikulum di Indonesia yang menyamaratakan standar di setiap sekolah yang mengesampingkan kualitas dan kuantitas sumber daya pengajar, kemampuan dasar siswa, maupun kondisi sosial budaya lingkungan sekolah.
Akan tetapi, apabila pemberian PR kepada siswa dihapuskan, mungkin saja akan menghilangkan nilai-nilai kontekstual dari adanya PR tersebut. Yaitu tidak adanya kesempatan bagi orang tua untuk membimbing anaknya dalam belajar. Padahal hal tersebut dapat menciptakan kedekatan emosional antara anak dan orang tua di rumah. Kalaupun bukan orang tua yang membimbing anak untuk belajar di rumah, tentu para guru les privat dan pemilik jasa rumah bimbingan belajar akan kehilangan lahan untuk menawarkan jasa.
Dilema Peniadaan PR
Setidaknya, ada tiga tujuan pemberian PR yaitu untuk mengulang pelajaran, menuntaskan pelajaran, dan sebagai penunjang nilai akhir. Salah satu cara guru untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang pelajaran yang telah ia sampaikan adalah dengan memberikan soal latihan untuk dikerjakan di rumah. Soal tersebut akan memacu siswa untuk membuka kembali catatan saat di sekolah. Maka, siswa akan semakin memahami pelajaran yang telah didapatnya di sekolah.
Terkadang, waktu guru di sekolah untuk menyampaikan materi tidaklah cukup. Maka guru melakukan angkah taktis untuk mengatasi keterbatasan waktu tersebut dengan cara memberikan PR. Pekerjaan rumah tersebut akan memberikan kesempatan bagi siswa untuk mencari informasi secara mandiri. Hal inilah yang dapat memacu kreativitas dan kemandirian siswa. Sistem pembelajaran ini disebut sebagai sistem induktif.
Selain itu, guru seringkali dipusingkan dengan nilai siswa yang tidak mencapai standar kelulusan. Padahal, guru menilai bahwa siswa tersebut mampu untuk lulus. Sehingga guru mengakalinya dengan memberikan tugas tambahan untuk dikerjakan di rumah. Harapannya, siswa bisa belajar lagi dan nilai tugas tersebut dapat menambah nilai agar dapat mencapai standar.
Pekerjaan rumah sangat penting bagi siswa supaya siswa dapat menggunakan waktu di rumah untuk hal-hal yang bermanfaat. Apabila tidak ada PR, maka bisa saja siswa menghabiskan waktu hanya untuk menonton tv dan bermain gadget apabila orang tua di rumah terlalu sibuk bekerja dan tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anaknya. Jadi, menurut hemat penulis sebaiknya rencana kebijakan ini dikaji ulang supaya tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dan benar-benar baik untuk masa depan pendidikan bangsa Indonesia. Wa Allaahu A’lamu bi Al-Shawab.
*Ketua Umum HMI Komisariat FITK UIN Walisongo Semarang Periode 2018-2019

No comments

Powered by Blogger.