Header Ads

Menyoal Metamorfosa Ujian Nasional

Oleh: M Khoirul Anam
"Miris”, setidaknya itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan dunia pendidikan Indonesia saat ini. Sebab, problematika yang terjadi silih berganti membuat kualitas pendidikan sering kali dipertanyakan. Setelah tersibukkan oleh permasalahan kurikulum yang semakin menggejala, kini, tiba gilirannya Ujian Nasional (UN) menyandera dunia pendidikan. Pasalnya, tidak hanya soal dan pelaksanaannya yang membuat resah. Namun, sistemnya pun setidaknya memberikan persoalan tersendiri di kalangan akademisi.
Setidaknya, sudah menjadi rahasia umum jika agenda yang dilaksanakan tiap satu tahun sekali ini akan menentukan hasil belajar selama mengenyam bangku pendidikan. Dan, yang selalu saja menjadi perdebatan, bahwa sistem UN justru hanya menjadi perusak mental bagi sebagian kalangan. Tak ayal jika banyak orang menentang pemberlakuan UN tersebut.
Begitupun sangat disayangkan, ketika pemberlakuan UN yang telah digulirkan selama setengah abad silam tersebut dihilangkan. Walaupun tak dapat dimungkiri, ada pula perubahan-perubahan sistem dalam agenda besar tersebut. Namun, setidaknya UN merupakan sejarah panjang yang telah mewarnai dunia pendidikan Indonesia.
Selain itu, walaupun tak dapat dimungkiri pula bahwa pendidikan Indonesia berada pada taraf “gawat darurat”. Namun, sudah selayaknya ketika UN tidak diberlakukan, maka tidak menutup kemungkinan akan menurunkan kualitas pendidikan Indonesia. Oleh sebab itu, untuk mengembalikan eksistensi UN sebagai evaluasi dan pemetaan kualitas pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan memberikan upaya lebih dalam peningkatan kualitas.
Upaya ini terlihat pada perubahan sistem UN pada 2015. Lebih jelasnya lagi, kini pemerintah telah menerapkan program komputerisasi pada soal UN 2015. Tidak akan ada lagi kertas soal di hadapan para peserta ujian. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya pengeluaran UN. Alhasil, sesuai dengan perkiraan, biaya pengeluaran UN bisa ditekan hingga 50 persen. Penurunan biaya pengeluaran ini setidaknya bisa dialihkan pada keperluan-keperluan pendidikan lainnya.
Sebaliknya, sebagus apa pun kebijakan yang dibentuk, maka sudah barang tentu akan menimbulkan dua efek bagi bayak kalangan. Pasalnya, selain sistem UN menimbulkan efek baik di atas, setidaknya juga menimbulkan dampak buruk bagi kelancaran pelaksanaanya.
Dengan menerapkan sistem komputerisasi di seluruh wilayah Indonesia, maka, UN 2015 mendatang terasa ribet dalam pendistribusian soal-soalnya. Sebab, pengalihan bentuk soal ke dalam komputer akan sangat menyulitkan bagi sekolah-sekolah di daerah terpencil. Bisa dimaklumi, masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas komputer sebanding dengan jumlah banyaknya siswa.
Penyalahgunaan UN
Jauh sebelum ini, perubahan sistem UN yang dilakukan pemerintah, tentunya diharapkan mampu menciptakan pendidikan di Indonesia berjalan tertib dan lancar. Namun, idealitas tak selalu jalan dengan realitas, sehingga pendidikan justru semakin rumit. Sejak dulu hingga sekarang, UN banyak menuai kontroversi dalam dunia pendidikan. Meski telah enam kali diubah, UN masih saja menciptakan problem dalam dunia pendidikan. Problem yang sangat buruk adalah melencengnya fungsi dari UN itu sendiri.
Anies Baswedan menyatakan bahwa fungsi atau peran UN dalam pendidikan adalah sebagai evaluasi pendidikan dan alat pemetaan kualitas pendidikan. Namun, hal itu tidak terwujud. Anies Baswedan mengungkapkan, Ujian Nasional dirasa gagal dalam memetakan kualitas pendidikan di Indonesia. Di sisi lain, selama ini fungsi UN sudah melenceng dari fitrahnya. Yang seharusnya UN dijadikan sebagai alat pemeta kualitas pendidikan, justru berbalik arah menjadi standar kelulusan dan peningkat mutu pendidikan di Indonesia.
Menjadikan UN sebagai penentu kelulusan, setidaknya membuat para siswa benar-benar merasa dirugikan. Pasalnya, proses belajar dan moralitas siswa secara tidak langsung dianggap kurang begitu penting. Sebab, baik buruknya proses belajar dan moral yang ditunjukan siswa, tidak mampu mengubah hasil kelulusan. Buruknya lagi, ketentuan ini bardampak panjang bagi siswa yang tidak lulus. Secara tidak langsung, siswa yang tidak lulus akan menerima status bodoh. Alhasil, bagi siswa yang tidak lolos dalam mengikuti UN akan terhambat masa depannya.
Senada dengan itu, setidaknya pengamat pendidikan dan aktivis Sekolah Tanpa Batas, Bambang Wisudo juga menegaskan, UN bukanlah suatu alat untuk meningkatkan mutu pendidikan, melainkan alat menghakimi pendidikan. Jika UN dijadikan penentu kelulusan dan sebagai cara meningkatkan kualitas pendidikan, maka tidak sesuai dengan fungsi dasar UN. Sebab, sangat tidak etis jika pemerintah melakukan standardisasi pada tahap evaluasi untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Terkait persoalan tersebut, Anies memetamorfosakan UN dan akan mengaplikasikan pada UN 2015. Akan tetapi, UN pun masih ikut andil dalam penentuan kelulusan. Meskipun porsi UN dalam menentukan kelulusan dikurangi, hal ini dirasa kurang efisien bagi siswa dan guru. Sebab, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menerangkan bahwa penentu kelulusan dipegang oleh guru dan satuan pendidikan (sekolah).
Peran Pemerintah
Dengan mengacu pada Undang-Undang Sisdiknas, pemerintah diharapkan dapat melakukan gebrakan yang bisa menciptakan pendidikan yang berkualitas dan merata. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mengembalikan peran guru dan satuan pendidikan sebagai elemen penentu kelulusan. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus memfasilitasi semua instansi pendidikan dengan komputer, sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah, agar, ketika pelaksanaan UN, semua soal dapat terdistribusikan dengan lancar.
Bila dilihat secara internasional, Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang mencanangkan evaluasi pendidikan (UN). Namun, masih ada negara yang tidak menerapkan sistem evaluasi pendidikan. Negara yang menyandang predikat dengan sistem pendidikan terbaik seperti Finlandia salah satunya. Untuk membawa Indonesia menuju negara yang menjunjung tinggi kualitas pendidikan, maka pemerintah patut mencoba sistem pendidikan yang diterapkan Finlandia.
Alhasil, demi tirciptanya tatanan masyarakat yang diidam-idamkan oleh banyak kalangan -ilmu al-ulamak dan rousen fikr-, maka setidaknya moral, penilaian guru dan instansi pendidikan harus menjadi elemen penentu kelulusan siswa. Dengan begitu, UN 2015 akan menjadi alat pemetaan kualitas pendidikan. Harapanya, lulusan yang dihasilkan merupakan generasi berkualitas dan memiliki moral yang baik pula. Aamiin. Wallahu a’lam bi al-sowab. (#)
*Mahasiswa Tadris Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang, Ketua Umum HMI Komisariat FITK UIN Walisongo Semarang Periode 2015-2016

No comments

Powered by Blogger.