Mengembalikan Khitah Pendidik
Oleh: Nur Faizah Rahmawati*
Ada benarnya jika Menteri Pendidikan Dasar
Menengah dan Kebudayaan Anies Baswedan, menyatakan bahwa pendidikan bangsa
Indonesia gawat darurat. Ungkapan tersebut sebenarnya telah menguatkan pendapat
Gus Dur, yang menyatakan bahwa pendidikan Indonesia kritis. Persepsi itu juga
tidak tanpa alasan, jika ditelaah lebih dalam, ternyata pendidikan nasional
masih jauh dari harapan masyarakat. Solusinya, khitah pendidik harus
dikembalikan.
Terlepas dari semua itu, keberhasilan
pendidikan adalah kemampuan mengaplikasikan atas apa yang sudah diajarkan, baik
itu peserta didik ataupun pendidik. Jika antara peserta didik dan pendidik
sudah mampu melampaui indikator keberhasilan pendidikan, maka sistem yang telah
ditetapkan tidak perlu diotak-atik lagi. Namun, realitas yang terjadi adalah
setiap pergantian Kementerian Pendidikan sistemnya pun selalu berganti. Entah
itu karena adanya evaluasi pendidikan atau memang hanya karena permainan
politik belaka, yang pasti pendidikan selalu berubah-ubah.
Kenyataan ini setidaknya merujuk pada
pergantian kurikulum 2013, yang kehadirannya justru hanya menambah permasalahan
yang ada. Sehingga, dalam konteks ini
menteri pendidikan harus memberikan terobosan baru terkait permasalahan
yang terjadi. Sebab, realitas ini menimbulkan kebingungan steakholder. Alhasil,
realitas ini mencederai pelaksanaan sistem pendidikan yang cenderung sak karepe
dewe.
Mengalami Disorientasi
Dengan kondisi sistem pendidikan yang seperti
itu, seharusnya mampu menstimulus pendidik untuk berjuang mengembalikan tujuan
pendidikan. Sebab, tujuan pendidikan Indonesia sangatlah holistik dan mulia, sebagaimana
yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 1 ayat 1. Yakni, Pendidikan yang mampu menjadikan peserta didik memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan Negara. Namun yang terjadi, pendidik justru tidak mau repot menerjemahkan
tujuan pendidikan tersebut ke dalam aplikasi kegiatan belajar mengajar.
Sehingga, yang terjadi adalah degradasi khittah pendidik yang notabene
mempunyai tugas moral untuk mendidik, melindungi, mengajar, dan memberi arahan.
Al-Ghozali mengatakan, bahwa pendidik adalah
orang yang mengetahui seluk beluk anak didiknya, baik itu kualitas
intelektualnya, keluarganya, maupun pribadinya. Jika seluruh pendidik yang ada
di negeri ini mampu menerapkan kriteria pendidik menurut al-Ghazali, maka
pendidik tidak perlu lagi mengikuti pemerintah yang seringkali tidak jelas.
Sebab, pendidik sudah mengetahui apa yang diperlukan peserta didik dan apa yang
seharusnya dilakukan.
Terlepas dari kebutuhan peserta didik,
permasalahan lain yang sedang melanda
pendidik adalah virus sovis. Setidaknya, virus ini semakin marak pasca
kebijakan pemerintah yang tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2005. UU tersebut
menjelaskan tentang kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik
professional. Keprofesionalan pendidik inilah, yang tidak bisa ditangkap dengan
baik oleh para pendidik.
Alhasil, adanya sertifikasi pendidik yang
idealnya harus disikapi dengan keprofesional pendidik, setidaknya justru
semakin mengecewakan kepercayaan negara. Sebab, gaji dan tunjangan yang layak
dari sertifikasi tersebut, diharapkan para pendidik focus terhadap tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pendidik. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya,
fasilitas dari Negara tersebut tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Hal
inilah yang menyebabkan dunia pendidikan Indonesia tidak kunjung tercerahkan.
Sebenarnya sikap professional yang harus
dimiliki pendidik ini juga harus berjalan beriringan dengan kompetensi pendidik
lainnya. Sebab, adanya kompetensi-kompetensi yang memang harus dimiliki oleh
seorang pendidik, sudah jelas.
Dalam konteks ini, setidaknya bangsa Indonesia
harus bisa berkaca pada Paulo Freire yang berani berjihad di dunia pendidikan
dengan keadaannya yang miskin. Berangkat dari keadaan itulah, setidaknya mampu
memperoleh hasil maksimal, sehingga mampu mengangkat derajat pendidikan di
Brazil. Keadaan tersebut, tentunya berbanding terbalik dengan pendidik di
Indonesia. Yang sebagian besar memprioritaskan besaran honor. Akibatnya adalah
hak peserta didik seringkali dikesampingkan.
Dan ketika realitas itu terjadi. Maka, secara
tidak langsung akan melemahkan kualitas generasi bangsa. Padahal, generasi
bangsa adalah masa depan Negara. Sehingga, ketika generasi lemah, maka tidak
menutup kemungkinan akan menghancurkan Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan
oleh J.J Rousseau bahwa, perbaikan masyarakat hanya bisa dilakukan melalui
pendidikan. Dalam internal pendidikan, keberhasilan pendidikan bergantung di
pundak pendidik, setidaknya hal ini yang pernah digagas oleh Yudi Latif dan
Romo Benny Susetyo. Oleh sebab itu, diperlukan pendidik yang mendidik dengan
panggilan hati, bukan karena profesi.
Terlepas dari permaslahan yang kian kompleks
tersebut, setidaknya keberhasilan sistem pendidikan tidak hanya bertumpu pada
satu komponen (pendidik) saja. Oleh karena pendidikan merupakan tolak ukur
kemajuan suatu negara dan merupakan masalah urgen, maka perlu adanya sinergitas
seluruh steakholder untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan yang mulia.
Keberhasilan pendidikan mampu dilihat dari indikator yang kasat mata, yaitu
kualitas SDM-nya. Bukan berarti mendewakan kualitas SDM hanya pada satu aspek
saja. Namun, keberhasilan yang kasat mata tersebut hendaknya mampu membantah
pernyataan Moh. Hatta bahwa, masyarakat Indonesia cerdas yang tercerabut dari
akarnya
Melihat kebijakan yang sering diambil
pemerintah ternyata tidak mampu menyelesaikan permasalahan diatas maka,
pemerintah harus membuat program baru untuk memperbaiki kualitas pendidik.
Sehingga, dalam konteks apapun mereka mampu menjalankan peran dan fungsinya
secara keseluruhan. Selain itu, pemerintah juga harus bisa memastikan bahwa
pendidik sudah bekerja dengan hati, bukan karena profesi entah bagaimanapun
caranya.
Selain kebijakan pemerintah, upaya yang bisa
diambil adalah meningkatkan pelayanan maksimal di perguruan tinggi yang
notabene sebagai ingkubator calon pendidik. Hal ini diharapkan mampu
mematangkan mental maupun kesiapan ketika terjun ke dunia nyata. Kesiapan
tersebut sangat erat kaitannya dengan hasil yang akan dihasilkan. Sebab, ketika
tidak ada kesiapan, baik mental maupun kualitas, sudah selayaknya berakibat
buruk pada dunia pendidikan Indonesia.
Ketika keadaan pendidikan membruk maka, mampu
menimbulkan kematian Indonesia. Oleh sebab itu, untuk mengembalikan khittah
pendidik sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, diperlukan kesadaran lebih dari
para pendidik Indonesia. Setidaknya berkontribusi mempersiapkan mental SDM
negeri untuk menyambut MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) dan dapat membuktikan
sebagai negara yang mampu mencapai target program educational for all
dari UNESCO (Kompas/2/5) . Waallahu a’lam bi al shawab.
*Ketua Umum HMI Komisariat Tarbiyah Walisongo Semarang Periode 2014-2015, Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam UIN Walisongo Semarang dan Sekretaris Direktur TPQ Bina Insani Semarang
Post a Comment