Header Ads

Mayoritas Minus Kualitas

Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hampir 90 persen rakyat Indonesia bisa disebut sebagai umat Islam. Namun sudah sejak lama kita merisaukan kesenjangan parah yang menimpa umat Islam hampir di setiap bidang. Diantaranya mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, dan teknologi. Dari berbagai masalah yang melanda umat Islam, elemen yang paling melumpuhkan kaki  umat Islam adalah dalam bidang pendidikan.  Posisi mayoritas tuna kualitas ini akan menjadi beban Islam sebagai agama yang ingin membangun peradaban yang unggul di muka bumi ini. Oleh  karena itu, kelumpuhan umat Islam dalam bidang pendidikan sama saja dengan kelumpuhan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Sejak Indonesia merdeka, permasalahan mengenai buta aksara bangsa telah mampu dihalau. Namun, kualitas pendidikan Indonesia yang mayoritas muslim itu masih saja jauh dari kata sempurna. Strategi pendidikan di Indonesia tidak pernah mantap sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal ini menyebabkan kualitas manusia Indonesia masih saja di bawah standar, baik dari tingkat regional maupun global. Oleh karena itu, faktor pendidikan ini sangatlah menentukan dibandingkan faktor yang lain. Jika sedikit saja kita lalai untuk memikirkan masalah pendidikan ini, maka buah yang semakin mendera kita adalah ketertinggalan umat Islam dalam bidang pendidikan, teknologi, dan ekonomi.
Negara Indonesia memang masih dibawah buritan. Hal ini dibuktikan dengan HDI (Human Development Index/ Ideks Pembangunan Manusia) Indonesia yang masih berada di peringkat 111 dari 175 negara. Jika HDI ini digunakan sebagai tolak ukur, maka ketertinggalan Indonesia sangatlah tajam dan jauh. Memang HDI ini tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur pendidikan di Indonesia karena tolak ukurnya bersifat kuantitatif. Namun dengan melihat gambaran pendidikan Indonesia secara makro itulah meminta kita mengelus dada.Oleh sebab itu, tanpa ditopang oleh pendidikan yang berkualitas tinggi, akan sangat sulit bagi bangsa ini untuk mengangkat muka di kancah dunia internasional sebagai bangsa yang maju.
Memang masalah pendidikan di  Indonesia kini serba dilematis. Jika pendidikan di arahkan menjadi dunia usaha, maka anak-anak miskin yang jumlahnya puluhan juta tidak akan dapat memasukinya. Sebab lantaran biaya pendidikan yang tidak dapat dijangkau oleh mereka. Tetapi jika pendidikan Indonesia dibiarkan seperti ini, maka kualitas pendidikan di Indonesia akan tetap saja berjalan di tempat, bahkan semakin mundur. Sekiranya pemerintah memiliki strategi yang konsisten dalam merumuskan konsep pendidikan, tentu kondisinya tidak akan separah sekarang ini.
Banyak cara guna meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya yaitu dengan menopang kesejahteraan guru. Namun hal ini tidak serta merta dapat dijadikan indikator keberhasilan, sebab diperlukan langkah selanjutnya yaitu dengan meningkatkan kualitas guru. Walaupun proses ini sebenarnya memerlukan waktu lama, tetapi setidaknya proses ini sudah mulai dilakukan. Dengan adanya guru yang bergelar S1 mengajar anak-anak SD, kita berharap mutu pendidikan di Indonesia akan semakin membaik. Jika guru sudah kompeten dalam bidangnya, kualitas generasi bangsa yang akan datang sudah tentu akan lebih menjanjikan.
Ketidakhirauan pemerintah dalam mengatasi masalah pendidikan dalam kurun waktu yang cukup lama, menjadi sebab utama mengapa posisi HDI kita masih jauh di bawah standar. Namun di tengah-tengah kegelapan bangsa Indonesia, masih ada kelap kelip bintang yang menerangi angkasa. Misal saja, anak-anak pedesaan yang tidak mampu melanjutkan sekolah, mereka berinisiatif untuk mencari informasi tentang pengetahuan dari internet. Namun bagi daerah pedesaan, internetisasi ini masih sangat terbatas dan belum semua orang mampu menjangkaunya. Sumber ini sebenarnya tak terbatas dan biaya nya pun relatif terjangkau. Dengan cara ini, ketertinggalan kita dalam bidang penddikan akan dapat diatasi secara berangsur, tetapi pasti.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebagai payung pendidikan bangsa, tentu tidak bisa bekerja sendiri dalam menanggulangi masalah pendidikan ini. Kiranya perlu kerjasama dengan dengan departemen lain, seperti departemen Perhubungan dan pihak swasta yang bergerak di bidang ini. Jika jumlah masyarakat di pedesaan lebih banyak dari masyarakat perkotaaan, maka tentu saja potensi masyarakat pedesaan akan jauh lebih besar. Jika masalah internet saja tidak dapat di jangkau oleh masyarakat pedesaan, sudah tentu hal ini akan sangat menghambat kemajuan pendidikan. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka monopoli pendidikan akan dikuasai oleh masyarakat perkotaan yang jauh lebih maju dari masyarakat pedesaan.
Namun apa yang menjadi masalah pendidikan secara umum, tentu akan berimbas pada masalah pendidikan di kalangan umat Islam. Sejak era penjajahan, Islam telah banyak mendirikan pusat-pusat sumber belajar seperti pesantren dan madrasah. Kemudian setelah merdeka, sumber-sumber belajar tersebut berada di bawah naungan Departemen Agama (Depag).  Jika pesantren dan madrasah yang masih dikelola oleh pihak swasta, tentu saja pemerintah tidak mampu menjamahnya.
Sehingga pendidikan pesantren terkadang tidak sejalan dengan sistem pendidikan nasional guna mewujudkan cita-cita bersama. Banyak pesantren yang masih jauh tertinggal dari peradaban. Oleh karena itu, menjadi PR bersama bahwa walaupun pesantren dibawah naungan pihak swasta, setidaknya pemerintah harus memperhatikannya pula. Agar mayoritas masyarakat Indonesia yang masih tertinggal mengenai masalah pendidikan, bisa segera terselesaikan.  Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Khanifatul AzizahMahasiswi Jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Diambil dari: www.militan.co

No comments

Powered by Blogger.