Aksi, Kritis atau Krisis ?
Oleh: Shofiya Laila Alghofariyah* |
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengirim surat edaran
kepada semua perguruan tinggi untuk meminta mahasiswa tidak ikut dalam kegiatan
unjuk rasa pada 4 November 2016. Dalam surat tersebut tertulis bahwa
kementerian berharap seluruh sivitas akademika menjaga budaya akademik agar
tetap kondusif sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi. Hal tersebut menanggapi rencana sejumlah kelompok masyarakat yang akan
mengikuti unjuk rasa Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI pada 4 November 2016.
Mereka menuntut pengusutan dugaan penistaan agama oleh calon Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tcahaya Purnama alias Ahok. (Koran Radar Bangka, 2
November 2016).
Seperti itulah surat edaran dari Kementerian Riset, Teknologi, Dan
Pendidikan Tinggi. Padahal mahasiswa mempunyai peran sebagai agent of
social control, yaitu turut serta mengawal dan mengawasi jalannya
pemerintahan. Adanya surat edaran tersebut secara tidak langsung telah memasung
jiwa kritis mahasiswa supaya tetap duduk manis diatas bangku-bangku
perkuliahan. Keputusan tersebut berpotensi mempengaruhi karakter mahasiswa dari
kritis menjadi apatis dan tidak aware dengan keadaan sekitar.
Penurunan daya kritis mahasiswa akan semakin parah lagi dengan lunturnya
budaya membaca dan diskusi. Kebanyakan mahasiswa sekarang lebih gemar bergadget ria
tanpa manfaat yang pasti. Dengan begitu, kemampuan menganalisis suatu
permasalahan akan mati. Begitu juga dengan para dosen di perguruan tinggi,
mereka melarang mahasiswanya untuk turun ke jalan dalam rangka
aksi. Apalah daya seorang mahasiswa hanya sebagai makmum dosen. Mereka
takut jika mendapat nilai yang kurang bagus. Selain itu, Kebanyakan
mahasiswa telah mendapat gelar “mahasiswa kupu-kupu” atau kuliah-pulang kuliah
pulang. Atau jika tidak pulang mereka memilih menghabiskan waktunya untuk
bersenang-senang di mall, bioskop, dan tempat hiburan lainnya.
Masyarakat Indonesia memiliki kebebasan bersikap, berserikat, berkumpul,
dan menyatakan pendapat. Salah satu cara menyampaikan pendapat adalah melalui
aksi. Sebagian besar masyarakat mempunyai stigma negatif terhadap
aksi. Stigma negetif tersebut disebabkan aksi yang dibarengi tindak
anarkis. Oleh karena itu aksi disebut juga demonstrasi yang berasal dari
kata demoniac yang berarti orang yang kesurupan. Karena fakta
di lapangan menunjukkan para demonstran seringkali terlihat seperti orang yang
kesetanan hingga melakukan tindak anarkis, seperti merusak fasilitas umum, melukai
petugas kepolisian, dan mengganggu ketertiban lalu lintas.
Sebagian para pelaku aksi anarkis tersebut ada yang merasa bangga karena
telah berhasil membuat petugas keamanan kewalahan. Namun, apakah pantas bagi
seorang yang berujar aksi dalam rangka memperjuangkan keadilan, tetapi justru
mereka sendiri juga berbuat dzalim. Merusak fasilitas umum, melukai
polisi, mengganggu ketertiban lalu lintas adalah perbuatan yang dzalim karena
telah merugikan banyak pihak. Fasilitas umum dibangun menggunakan uang rakyat,
polisi sebagai pengayom rakyat, dan lalu lintas adalah urat nadi mobilitas
rakyat. Bayangkan saja jika ada mobil ambulans yang terjebak macet karena aksi
anarkis, sehingga pasien nyawanya tidak tertolong. Seperti itulah gambaran dari
aksi yang mengandung tindak anarkis. Mereka kritis, tetapi juga krisis, yaitu
krisis moral dan etika dalam melaksanakan aksi.
Maka sebaiknya para demostran tidak semena-mena bertindak anarkis ketika
melakukan aksi. Lakukanlah dengan tertib dan damai tanpa merugikan banyak
pihak, karena kritis tidak boleh disandingkan denga krisis. Alangkah bahagianya
para founding fathers kita apabila melihat aksi sebagai bentuk
implementasi demokrasi di Indonesia berjalan dengan tertib dan damai. Tanpa ada
sedikitpun pihak yang merasa dirugikan dan terluka karena aksi anarkis. Seperti
itulah aksi damai yang diharapkan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, mahasiswa harus bangun dari tidur panjangnya, yaitu
kehilangan jiwa kritis. Caranya antara lain dengan rajin membaca dan
berdiskusi. Melakukan kegiatan yang bermanfaat seperti berorganisasi yang dapat
meningkatkan kualitas diri. Dengan begitu, mahasiswa akan dapat menjalankan
perannya sebagai agent of social control yang beretika.
Mahasiswa boleh saja melakukan aksi sebagai bentuk dari perannya sebagai agent
of social control, dengan catatan tidak diikuti dengan tindak anarkis.
Tetapi juga tidak dibenarkan jika mahasiswa rajin mengikuti kegiatan aksi
tetapi meninggalkan kewajiban akademik di bangku kuliah. Tugas utama seorang
mahasiswa adalah melaksanakan kewajiban akademik. Maka mahasiswa juga harus
bisa membagi waktu secara adil antara organisasi dan kegiatan perkuliahan.
Karena kecerdasan intelektual dan kecerdesan emosional harus berjalan secara
seimbang. Oleh karena itu, marilah menjadi mahasiswa yang cerdas dalam
mengkritisi, luhur dalam budi, dan tinggi dalam prestasi. Wallahu
a’lamu bi al showab.
*Ketua Umum HMI Komisariat FITK UIN Walisongo Semarang Periode 2018-2019
Post a Comment